Maulid Nabi dalam dialek bahasa Jawa adalah Mauludan yang artinya hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Apabila dimaksudkan demikian maka perayaan atau peringatan Maulid Nabi di berbagai tempat, baik di masjid-masjid ataupun di kantor-kantor pemerintahan biasanya diselenggarakan pada malam 12 Rabi’ul Awal. Bahkan dinegara kita bukan saja di masjid masjid maupun kantor-kantor pemerintahan, melainkan juga diselenggarakan di kampung-kampung tingkat RW maupun tingkat RT. Akan tetapi, apabila yang dimaksud adalah pembacaan kitab-kitab Maulid Nabi seperti Maulid Diba’i, Maulid Barzanji, Maulid Syarafil Anam dan lain-lain, maka dinegara kita terutama di Jawa, Maulid Nabi itu hampir setiap malam hari kita temukan pelaksanaannya di berbagai kampung atau desa. Dalam dialek bahasa Jawa Maulid Diba’i biasa disebut Diba’an dan Maulid Barzanji biasa disebut Berzanjian atau Berjanjen.
Sementara pembacaan Maulid Syarafil Anam biasanya dilantunkan dalam seni hadrah, diselenggarakan pada even-even tertentu seperti acara Haul (Peringatan Hari Wafatnya seorang Wali atau Kiyai), Imtihan (Akhir Tahun Pelajaran diPondok Pesantren), HUT NU dan sebagainya. Disamping itu, pembacaan Maulid Syarafil Anam beserta seni hadrahnya tidak jarang ditemukan pelaksanaannya di desa-desa pada hari-hari tertentu yang biasa disebut Gladen. Peringatan Maulid Nabi pertama kali dirayakan oleh Gubernur Kepala Daerah Irbil (Iraq) yang menurut Imam Ibnu Katsir dikenal sebagai seorang pemberani, pahlawan, alim, dan penguasa yang adil.
Suatu jenis tradisi keagamaan dianggap legal (sah) jika dilandasi dalil Ijma’ (konsensus para ulama). Demikian pula legalitas (Keabsahan) peringatan Maulid Nabi. Amaliah ini banyak didukung oleh sederetan ulama’ seperti Syekh Ibnul Jauzi, Ibnu Khallikan, Al Hafizh Ibnu Dihyah, Al Hafizh Al Iraqi, Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani, Al Hafizh As Suyuthi, Al Hafizh As Sakhawi, Syekh Ibnu Hajar Al Haitami, Imam An Nawawi, Imam Izzuddin bin Abdus Salam, Syekh Muhammad Bakhit Al Muthi’i (Mantan Mufti Mesir), Syekh Mushthafa Naja (mantan Mufti Beirut, Lebanon) dan masih banyak lagi ulama besar lainnya.
Hikmah dalam Peringatan Maulid Nabi diantaranya:
1. Memperingati Maulid Nabi merupakan ungkapan rasa senang dan bahagia atas nikmat Alloh seperti nikmat terlahirnya dan terutusnya Nabi Muhammad SAW. Seperti dalam firman Alloh: “Katakanlah: ‘Dengan karunia Alloh dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia Alloh dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan’ (QS Yunus: 58). Alloh SWT memerintahkan kepada kita agar mengungkapkan rasa senang tatkala mendapatkan rahmat dan karunia dari Alloh, sementara kelahiran dan terutusnya Nabi Muhammad SAW adalah sebesar-besar rahmat dan karunia Alloh bagi alam semesta. Alloh SWT juga berfirman dalam Al Qur’an yang artinya: “Dan tiadalah Kami mengutus kamu melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi alam semesta.’ (QS Al Anbiya:107).
2. Peringatan Maulid Nabi biasanya dilakukan dengan cara berkumpul untuk mendengarkan sejarah dan pujian-pujian yang memang berhak dan layak disematkan kepada Rasulullah. Disamping itu dalam Majelis Maulid Nabi itu dihidangkan aneka ragam makanan (ithh’ amuth tha’am) yang dimaksudkan untuk menyenangkan hati (idhkhalul surur) bagi orang-orang mukmin terutama diantara mereka banyak terdapat orang-orang fakir miskin.
3. Kita tidak mengatakan bahwa memperingati Maulid Nabi harus dilakukan pada malam-malam tertentu, bahkan orang yang menyakini demikian berarti ia melakukan berarti ia melakukan perbuatan bid’ah dalam agama. Karena mengingat, mengenang, memuji, dan merindukan Rasulullah SAW seharusnya dilakukan oleh kaum muslimin setiap saat. Akan tetapi memperingati Maulid Nabi pada tanggal dan bulan kelahirannya akan membuat kerinduan kita semakin tumpah kepada beliau lamaran adanya kaitan waktu dengan kejadian aslinya.
4. Berkumpul dalam rangka Maulid Nabi merupakan perantara (wasilah) yang sangat efektif untuk dakwah ke jalan Alloh. Sebuah kesempatan emas (furshah dzahabiyah) yang tidak boleh disia siakan begitu saja. Yakni kondisi dan momen ini menjadi kesempatan emas bagi para da’idan ulama’ untuk mengingatkan ummat kepada akhlak, sejarah, ibadah, dan muamalah Nabi, menasihati dan menunjukkan kaum muslimin menuju kesuksesan, mengingatkan kaum muslimin dari bencana, fitnah, dan waspada terhadap bid’ah yang sesat. Begitulah yang biasa dilakukan kaum muslimin dalam acara peringatan Maulid Nabi. Tujuan berkumpul dalam peringatan Maulid bukan sekedar seremonial dan rutinitas, melainkan menjadi sarana (wasilah) yang baik demi tujuan yang baik. Barang siapa yang tidak mengambil manfaat untuk meningkatkan kualitas agamanya dari peringatan Maulid Nabi, berarti ia termasuk orang-orang yang merugi.(fa/sar)