Barokah secara etimologis adalah “Ziyadatul Khoiri Wannaf’i” yang berarti semakin bertambahnya kebaikan dan manfaat. Ar Raghib Al Ashfihani memberikan keterangan yang sangat simpel untuk mendefinisikan barokah yaitu “Kebaikan Tuhan yang ada pada sesuatu”. Adapun yang dimaksud dengan “Kebaikan Tuhan” disini adalah bersifat ilahi sehingga bersifat abstrak tetapi dapat dirasakan. Apabila dikolerasikan dengan pemahaman bahwa barokah adalah semakin dekat kepada Alloh SWT, maka barokah itu berati datangnya kebaikan dan manfaat yang menjadikan semakin dekat kepada Alloh SWT.
Sesuatu yang dianggap bermuatan barokah berarti dirasakan ada nilai tambah meskipun pada lahirnya tidak ada, atau malah berkurang. Karena itu ada pendapat lain yang mengatakan “Barokah adalah bertambah dan berkembang dari jalur yang tidak dapat dilihat secara kasat mata”. Contohnya harta yang disedekahkan, secara kasat mata memang berkurang, namun pada hekekatnya mengandung barokah atau diberkahi, karena terkadang secara tidak langsung mendatangkan rizqi dari jalur yang lain. Makan tanpa membaca bismillah secara lahiriyah memang tidak berbeda dengan makan yang didahului bacaan bismillah, namun dengan bacaan bismillah maka dalam makanan itu ada nilai tambah yang tidak terlihat tapi dapat dirasakan, begitulah pengertian barokah.
Dalam Islam, ada istilah tentang barokah yang dikenal dengan Tabrik dan Tabarruk. Tabrik sendiri adalah mendoakan datangnya barokah buat orang lain, misalnya kita mendoakan datangnya barokah dalam acara Walimatul ‘Arus (untuk kedua pengantin): “Semoga Alloh memberkahi Anda, dan tetap mendatangkan barokah buat Anda, serta merukunkan Anda berdua dengan penuh kebahagiaan”. Sedangkan istilah yang kedua yaitu Tabarruk adalah upaya memperoleh barokah, dalam bahasa Jawa diistilahkan dengan Ngalap Barokah.
Seperti hal nya kita membaca QS Al Fatihah, QS Al Ikhlash, QS Al Falaq, QS An Nas, QS Al Kahfi, QS Maryam, QS Yusuf, QS Yasin, Ayat Kursi, QS Al Baqarah: 284-286 dan lain-lain. Semuanya itu dalam rangka upaya Ngalap Barokah dari surat-surat / ayat-ayat tersebut. Untuk lebih jelasnya tentang legalitas upaya Tabarruk (Ngalap Barokah), baiklah kita simak beberapa fakta sejarah berikut ini:
1. Kaum Bani Israil ingin mendapatkan lagi kejayaan yang pernah mereka alami, dengan cara Ngalap Barokah dari sebuah peti yang disebut Tabut. Kejadian ini diabadikan oleh Alloh dalam firmanNya: “Dan Nabi mereka mengatakan kepada mereka: “Sesungguhnya pertanda ia (Thalut) akan menjadi Raja adalah kembalinya tabut kepadamu, didalamnya terdapat (faktor) ketenangan dari Tuhanmu dan sisa dari peninggalan keluarga Musa dan keluarga Harun. Tabut itu dibawa oleh para Malaikat. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda bagimu jika kamu orang-orang yang beriman” (Al Baqarah: 248). Tabut adalah peti tempat bayi Nabi Musa diapungkan oleh ibunya, Yohana ke Sungai Nil. Peti itu terus mengikuti aliran sungai sehingga ditemukan oleh istri Firaun untuk kemudian bayi itu diasuh. Kaum Bani Israil mengambil peti itu sebagai objek Tabarruk (Ngalap Barokah).
2. Dalam QS Yusuf: 93, Alloh menjelaskan tentang Ngalap Barokah yang dilakukan oleh seorang pribadi mulia yang sedang mengalami buta (Nabi Ya’qub AS) terhadap baju puteranya, Nabi Yusuf AS. Az Zamakhsyari menjelaskan hakekat baju Yusuf dengan mengatakan: “Dikatakan, itu adalah baju warisan yang dihasilkan oleh Yusuf melalui doanya. Baju itu datang dari surga, dibawa oleh Malaikat Jibril kepada Yusuf. Dibaju itu tersimpan aroma surgawi yang tidak ditaruh pada orang yang sedang mengidap penyakit kecuali disembuhkan”. Ketika baju itu diusapkan pada muka Nabi Ya’qub, seketika itulah beliau dapat melihat seperti semula.
3. Upaya para sahabat (generasi Salafush Shalih) untuk Ngalap Barokah dari Rasulullah SAW: Dalam kitab Thabaqat karya Ibnu Sa’ad, Ibnu Qusaith dan Al ‘Utbi menyatakan, para sahabat saat masuk masjid Nabawi, mereka mengusap mimbar Rasulullah yang dekat dengan makam Baginda Nabi. Para sahabat bertabarruk dan bertawassul, berdoa dengan menghadap kiblat. Pada kitab Thabaqat ini, disebutkan pula ‘Abdullah bin Umar ibnul Khattab mengusapkan tangannya di tempat duduk Nabi yang ada pada mimbar dengan maksud bertabarruk. Selanjutnya, beliau mengusapkan tangan pada wajah beliau.(sar)