Salah satu kerajaan besar yang ada di tanah Maluku adalah Kerajaan Tidore. Menariknya, kebesaran kerajaan ini kerap kali disandingkan dengan saudaranya yaitu Kerajaan Ternate. Perjalanan dari Kerajaan Tidore cukup panjang, mewarnani riwayat kerajaan tua di Nusantara hingga Indonesia merdeka.
Berdiri sejak tahun 1081 M, kerajaan ini sudah tercatat mengalami banyak pemindahan ibukota. Letaknya yang terakhir ada di Limau Timore (Soa-sio sampai sekarang). Raja pertamanya bernama Syahjatiyang merupakan saudara dari Mashur Malamo, Raja pertama Kerajaan Ternate. Kerajaan satu ini juga menjadi saingan dari Kesultanan Ternate dimana Ternate menguasai wilayah barat Maluku sedangkan Tidore sebelah timur. Kedua kerajaan ini saling berkompetisi dalam hal perdagangan rempah-rempah.
Pada mulanya Kerajaan Tidore menganut Kepercayaan Symman atau lebih kita kenal dengan istilah Animisme (Kepercayaan akan roh leluhur untuk disembah). Agama islam pertama kali masuk ke Kerajaan Tidore pada masa pemerintahan Sultan Ciriliati (Sultan Jamaluddin) pada tahun 1495 yang saat itu beribukota di Gam Tina. Melalui dakwah Syekh Mansur yang berasal dari Arab, Sultan dan seluruh rakyat Tidore memeluk agama Islam. Hal ini kemudian membuat kehidupan masyarakat, baik dari politik, ekonomi, sosial dan budaya menjadi terpengaruh .Sejak awal berdirinya, memang belum bisa dipastikan dimana letak pusat dan agama kepercayaan Kerajaan Tidore. Setelah Sultan Jamaluddin wafat,Kesultanan Tidore beralih tangan dibawah pimpinan Sultan Al Mansur pada tahun 1512-1526 M.
Pada tahun 1521 M pengaruh budaya asing mulai masuk ke wilayah Maluku Utara. Sultan Mansur menerima Spanyol sebagai sekutu dengan tujuan agar kekuatan Kesultanan Tidore mengimbangi Kesultanan Ternate. Pada tahun 1663, pihak Spanyol memilih mengundurkan diri setelah mendapat protes dari Portugal terkait pelanggaran terhadap Perjanjian Tordesillas 1494.
Pada tahun 1657-1689 di bawah pimpinan Sultan Saifuddin, Kesultanan Tidore menjadi salah satu Kerajaan paling merdeka di Maluku karena waktu itu berhasil menolak penguasaan VOC terhadap wilayahnya. Namun, Kerajaan Tidore juga pernah mengalami masa kemunduran yang disebabkan karena adu domba yang dilakukan oleh pihak Spanyol dan Portugis. Kerajaan Tidore diadu domba dengan Kerajaan Ternate yang bertujuan untuk memonopoli rempah-rempah yang dimiliki daerah tersebut.
Setelah sekian lama, kedua kerajaan itu sadar bahwa mereka selama ini hanya diadu domba oleh bangsa asing. Untuk membalas atas perlakuan tersebut, kedua kerajaan bersatu untuk mengusir Portugal dan Spanyol keluar dari Maluku. Setelah lama bekerja sama, akhirnya mereka berhasil mengusir Spanyol dan Potugal keluar dari Maluku. Namun, kemenangan ini tidak bertahan lama sebab VOC yang dibentuk Belanda sudah berhasil menaklukan Ternate untuk menguasai perdagangan rempah-rempah di Maluku.
Masa keemasan Kerajaan Tidore selain di era Sultan Saifuddin, juga terjadi di bawah kepemimpinan Sultan Nuku. Di masa Sultan Nuku inilah Kerajaan Tidore bersatu dengan Ternate melawan Belanda yang dibantu Inggris. Sultan Nuku meninggal pada 14 November 1805. Selepasnya, Kerajaan Tidore kembali mendapat tekanan dari Belanda.
Pada saat Indonesia merdeka, Kerajaan Tidore bergabung dengan NKRI. Tercatat, sempat terjadi kekosongan kekuasaan di Kerajaan Tidore akibat dari adanya konflik internal. Sultan terakhir saat era kemerdekaan adalah Sultan Zainal Abidin Syah (1947-1967). Setelah era reformasi, tepatnya tahun 1999, guna menghidupkan warisan budaya, Kesultanan Tidore dihidupkan kembali dengan rajanya Sultan Djafar Syah. Tahun 2012, tampun kesultanan selanjutnya dipegang oleh Sultan Husain Syah hingga saat ini.(sar/fa)