Pasti banyak orang yang belum tahu bagaimana sejarah Kesultanan Pontianak dan siapa yang mendirikannya. Nah, pada kesempatan kali ini kita akan membahas dengan rinci sejarah tentang Kesultanan Pontianak. Pada mulanya Kesultanan Pontianak didirikan oleh salah satu bangsawan keturunan Baginda Nabi bernama Syarif Abdurrahman Alkadrie, pada Rabu,23 Oktober 1771 atau dalam kalender Islam 14 Rajab 1185 H.
Selanjutnya, guna memperkuat posisi politiknya, Syarif Abdurrahman melakukan dua pernikahan. Pernikahan pertama dengan putri Utin Chandramidi dari Kerajaan Mempawah. Pada tahun 1768, beliau menikah lagi dengan Ratu dari Kesultanan Banjar (putri dari Sultan Tamjidillah I) yang bernama Ratu Syahranum (Ratoe Sjerip). Dari pernikahan tersebut, Syarif Abdurrahman dianugerahi gelar Pangeran Nur Alam. Tahun 1771, ayah Syarif Abdurrahman yang bernama Habib Husein meninggal di Mempawah. Setelah itu, mereka memutuskan untuk mencari wilayah baru yaitu dengan membuka hutan dipersimpangan Sungai Landak, Sungai Kapuas Kecil, dan Sungai Kapuas Besar sebagai tempat tinggal.
Syarif Abdurrahman dikukuhkan menjadi Sultan Pontianak pada tahun 1778 (1192 H) yang kemudian mendirikan Istana Kadriyah pada tahun 1778. Setelah berdirinya Kesultanan Pontianak, tak lama kemudian tepatnya tahun 1778 datanglah para kolonial dari Belanda dibawah pimpinan Willem Ardinpalm. Belanda diizinkan tinggal oleh sultan di daerah yang sekarang kita kenal dengan nama daerah Tanah Seribu (Verkendepaal).
Palm selanjutnya digantikan oleh Wolter Markus Stuart (pada rentang 1779-1784). Markus memberikan tawaran kerja sama kepada Sultan Syarif Abdurrahman tapi tawaran tersebut ditolak. Namun, setelah datangnya utusan kedua, Sultan menerima dengan tangan terbuka tawaran tersebut. Perjanjian tersebut disepakati pada tanggal 5 Juli 1779.
Isinya, masyarakat Tanah Seribu bersedia jika daerahnya digunakan untuk kegiatan pemerintahan sekaligus menjadi wilayah kedudukan penuh atas Belanda yang kemudian menjadi kedudukan pemerintahan Resident het Hoofd Westeraffieling van Borneo (Kepala Daerah Keresidenan Borneo Barat) dan Asistent Resident het Hoofd der Affleeling van Pontianak (Asisten Residen Kepala Daerah Kabupaten Pontianak) selanjutnya berganti menjadi Controleur het Hoofd Onderafdeeling van Pontianak atau Hoofd Plaatselijk Bestuur van Pontianak.
Pada tahun 1080 M, Sultan Syarif Abdurrahman wafat dan digantikan oleh putranya yang bernama Sultan Syarif Kasim Alkadrie. Dibawah kepemimpinannya, kerja sama dengan pemerintah Belanda malah semakin dipererat hingga tahun 1811. Setelah Sultan Syarif Kasim wafat (1819), tampuk pemimpin dipegang oleh Sultan Syarif Usman Alkadrie (1819-1855). Sultan Syarif Usman Alkadrie adalah pencetus berdirinya Masjid Jami’ Pontianak serta pereluasan wilayah Istana Kadriyah. Kepemimpinan kesultanan Pontianak terus berganti, dilanjutkan oleh keturunan-keturunan Sultan.
Pada tahun 1942, Jepang datang ke tanah Pontianak. Kolonial Jepang menganggap bahwa Kesultanan Pontianak masih bekerja sama dengan Belanda dan membuatnya marah. Saat itu, di masa Sultan Syarif Muhammad Alkadrie, Kesultanan Pontianak mulai kehilangan masa eksistensinya. Jepang pun mulai mengusik kehidupan kesultanan.Mulai dari penghancuran,penyiksaan, hingga pembunuhan yang berlangsung dari September 1943 sampai Januari 1944.Tak hanya itu pada tanggal 28 Juni 1944 Jepang membunuh Sultan Syarif Muhammad beserta beberapa anggota keluarga,pemuka adat bahkan para tokoh masyarakat juga terlibat. Peristiwa berdarah ini kemudian dikenal dengan nama Mandor.
Karena perlakuan Jepang yang semena mena, rakyat Pontianak marah dan melakukan Perang Dayak Desa. Beruntung, meski terjadi perang, masih ada putra Sultan Syarif Muhammad yang selamat yaitu bernama Sultan Syarif Hamid. Saat kejadian tersebut beliau sedang menjadi tawanan Jepang di Batavia selama tahun 1942-1945.
Setelah Sultan Syarif Hamid kembali ke Pontianak, beliau dinobatkan menjadi Sultan Pontianak dengan gelar Sultan Syarif Hamid II atau biasa kita kenal dengan Sultan Hamid II. Usai peristiwa Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, wilayah Kalimantan Barat menjadi salah satu daerah istimewa atau disebut dengan Daerah Istimewa Kalimantan Barat dengan Sultan sebagai pemimpinnya.
Tak hanya itu, Sultan Hamid II juga ditunjuk sebagai perancang Lambang Negara Indonesia oleh Presiden Soekarno. Pada tanggal 30 Maret 1978, Sultan Hamid II menghembuskan nafas terakhirnya yang membuat Kesultanan Kadriyah Pontianak mengalami kekosongan jabatan selama 25 tahun. Kekosongan ini disebabkan karena belum ditemukan adanya pemimpin yang tepat untuk mengisi jabatan tersebut. Pada tanggal 15 Januari 2004 pihak bangsawan Kesultanan Kadriyah mengangkat Syarif Abubakar Alkadrie sebagai Sultan Pontianak ke VIII. Kini, wilayah Daerah Istimewa Kalimantan Barat menjadi Provinsi Kalimantan Barat sejak tahun 1956.(sar/fa)