Pernah mendengar kisah Sunan Kalijaga yang bernama asli Raden Said ? Ya, disamping penuh mistis tentu mengundang decak kagum karena sarat akan keajaiban. Salah satunya, asal muasal dari gelar Kalijaga. Sebagian dari kita mungkin beranggapan, asal dari gelar ini adalah ketekunan Raden Said menjaga tongkat gurunya yang ditancapkan di tepi sungai dalam waktu lama hingga dirinya dirambati oleh tanaman. Nah, apakah ini benar ?
Terkait kisah yang telah beredar, penulis tidak berwenang menyangkal. Hal yang terasa mustahil bisa saja mungkin. Seperti, bisa saja Raden Said benar-benar ditidurkan di tepi sungai menjaga tongkat Sunan Bonang dalam waktu lama. Para wali memang dibekali dengan karomah. Atau bisa juga kisah tersebut diambil hikmah dari kiasannya, yakni keteguhan akan Raden Said dalam menjaga tonggak ajaran gurunya.
Kembali ke bahasan kita, gelar Kalijaga. Apakah karena ‘bertapa’ di sungai kemudian Raden Said bergelar Sunan Kalijaga ? Mungkin iya. Namun, ada analisis yang lain tentang nama Kalijaga ini. Sebuah manuskrip kuno berbahasa melayu menyebutkan, Raden Said membangun pondokan di tepi sungai Kali Jaga, Cirebon dan tinggal bersama istrinya. Pada waktu itu, Raden Said memiliki dua santri dan merupakan santri generasi awal. Dari sinilah selanjutnya, Sunan Kalijaga melebarkan sayap dakwahnya.
Keberadaan catatan dari manuskrip ini tentu istimewa. Alasannya, karena dapat menjadi sumber alternatif dari mana gelar Sunan Kalijaga dan sekaligus koreksi akan sudut pandang yang umum didengar masyarakat. Naskah kuno ini ditulis oleh Adipati Suroadimenggolo dari Kerajaan Demak pada tahun 1810-an dan kini tersimpan di London dengan kode dokumen : Raffles Malay 30.
Untuk diketahui, Sunan Kalijaga merupakan salah satu wali songo yang berdakwah dengan pendekatan budaya Jawa. Tak heran, bila ajaran-ajarannya lekat dengan aroma lokal. Wayang, seni ukir, tembang, dan gamelan tak lepas dari sentuhan dakwahnya. Pandangan dan ide beliau bahkan memiliki pengaruh di keraton-keraton Jawa, seperti acara gerebeg maulud, sekatenan, dan konsep keraton lengkap dengan alun-alun, beringin, serta masjidnya. Banyak adipati-adipati di Jawa yang kemudian memeluk Islam berkat pendekatan Sunan Kalijaga.
Sunan Kalijaga diperkirakan berumur lebih dari 100 tahun. Artinya, beliau hidup di masa akhir runtuhnya Majapahit, mengiringi masa-masa munculnya kerajaan Islam di Jawa, hingga awal berdirinya kerajaan Mataram Islam. Tiang “tatal” di Masjid Agung Demak adalah salah satu karya beliau yang terkenal.(*)
Link manuscript Suroadimenggolo : DaftarSejarahCerebon