Seni hadrah adalah seni rebana untuk mengiringi lantunan pembacaan sholawat dan maulid. Sama-sama menggunakan rebana, hadrah berbeda dengan banjari, baik dari pakem tabuhannya atau pun dari jenis rebana yang digunakan. Jauh sebelum Indonesia merdeka, konon seni hadrah telah menjadi budaya masyarakat Islam kita.
Sholawat yang dilantunkan dalam hadrah bukan sekedar nasyid atau sholawatan, namun ada nilai sakralitas thoriqoh di sana. Dan memang, disebutkan, asal muasal hadrah ini adalah amaliyah thoriqoh Mahabbaturrasul. Adalah beliau Habib Syech Botoputih, Surabaya, seorang mursyid thoriqoh yang mempelopori seni hadrah ini pada 1830. Selanjutnya, seni ini dikenal di kalangan santri dan masyarakat dengan istilah terbangan atau kadrohan. Maulid yang senandungkan adalah maulid Syaraful Anam dilengkapi dengan ragam syair diwan hadrah.
Selanjutnya, dari generasi ke generasi seni hadrah ini diwariskan dan menjadi tradisi yang lekat dengan masyarakat muslim di Jawa. Bahkan, di tiap daerah kemudian muncul banyak jam’iyah-jam’iyah hadrah yang menyeramarakkan dan membumikan budaya kadrohan.
Peran seni hadrah sangat terlihat di masa perjuangan kemerdekaan. Di saat gerakan-gerakan rakyat dikontrol dan diawasi ketat oleh penjajah, tradisi kadrohan menjadi media konsolidasi ulama dan santri kala itu. Berlanjut pada era pasca kemerdekaan, hadrah juga turut berperan dalam membentengi umat dari paham komunis serta menjaga kesolidan kaum santri.
Seni hadrah menemukan momentumnya sebagai sebuah jam’iyah resmi pada tahun 1959 saat organisasi Ikatan Seni Hadrah Republik Indonesia (ISHARI) berdiri. Jam’iyah Hadrah awalnya diinisiasi oleh KH. Wahab Hasbullah yang kemudian berubah menjadi ISHARI sebagai badan resmi di dalam Nahdlatul Ulama. Kata “Republik” pada ISHARI sengaja disematkan untuk menegaskan akan komitmen jami’yah untuk membentengi umat dari komunis. Namun, sejak Munas pertama ISHARI di PP. Sunan Drajad Lamongan, kata “republik” ini sudah tidak dimasukkan. Saat itu, hadrah sudah menyebar dengan pesat sampai ke luar Jawa.
Sebagaimana disebutkan diawal bahwa hadrah ini berawal dari thoriqoh maka sajian sholawat hadrah ini pun bersifat pakem. Artinya, tidak dapat dimodifikasi menyesuaikan ranah cita rasa pemirsa atau tren yang berkembang. Sehingga, dalam perkembangannya sampai saat ini, kadrohan kalah tenar, khususnya di kalangan remaja atau pemuda, jika dibandingkan dengan banjari atau pun habsyi. Meski demikian, seni hadrah tetap harus dilestarikan mengingat amaliyah ini merupakan salah satu warisan dari ulama-ulama salaf kita.(fa)