Ada banyak alat hitung untuk dzikir. Mulai dari yang lazim seperti tasbih hingga batu dan biji-bijian. Penulis sendiri masih sering juga menemukan jamaah dzikir surah Ikhlas, saat ada orang meninggal, menghitung bacaan dengan biji jagung. Namun, kali ini alat dzikir yang kita bahas adalah yang sering kita temui yakni tasbih.
Di berbagai literatur agama, ternyata alat semacam tasbih juga ditemui. Baik pada agama Hindu dan Budha, dijumpai resi dan biksu yang memiliki alat semacam tasbih. Demikian juga pada Katolik, yang mata tasbihnya berbentuk salib.
Jelasnya, tak ada literatur khusus yang meyakinkan sejak kapan alat hitung ini temukan. Alat ini dalam bahasa Sansekerta kuno disebut jibmala, sedangkan di Timur Tengah disebut subhah. Dalam tradisi Islam, tasbih digunakan sebagai media dzikir utamanya usai salat. Karenanya, jumlahnya bijinya pun menyesuaikan, yakni 33 biji tiga kali dengan biji pemisah berbentuk khusus. Detailnya, 33 pertama untuk bacaan tasbih, 33 kedua untuk hamdalah, dan 33 selanjutnya untuk bacaan takbir.
Apakah menggunakan tasbih sebuah keharusan ? Tentu saja tidak. Ini hanyalah media hitung. Malah sekarang ada lho alat hitung dzikir yang lebih modern. Bagi sobat yang tidak punya pun, bisa menghitung dzikir dengan ruas-ruas jari. Intinya, tergantung kebutuhan dan kenyamanan. Bisa jadi menggunakan tasbih akan sangat nyaman saat kita berdzikir dengan hitungan puluhan ribu.
Terlepas dari tasbih sebagai alternatif, nyatanya tasbih telah menghiasi hasanah perjalanan para ulama khususnya di Indonesia. Hampir di masjid-masjid kuno dan pesantren tua di Indonesia, tasbih ditemukan di sudut-sudut masjid atau gothakan (kamar) santri.