Sebelum Negera Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) lahir, ada banyak kerajaan-kerajaan besar di tanah air. Tercatat, beberapa kerajaan besar yang pernah hidup di nusantara di antaranya kerajaan Kutai, Sriwijaya, Majapahit, dan Mataram. Hingga Indonesia merdeka, masih terdapat ratusan kerajaan yang masih eksis di tanah air. Namun, status mereka sudah tidak berdaulat secara pemerintahan karena telah bergabung dengan NKRI. Kerajaan-kerajaan yang masih eksis tersebut lebih berperan sebagai penjaga budaya dan khasanah adat di tanah air.
Dari ratusan kerajaan tersebut, yang masih kuat secara garis keturunan dan budaya hingga sekarang, di antaranya ada lima yakni Kesultanan Cirebon, Kerajaan Ternate, Kesultanan Kanoman, Kesultanan Surakarta, dan Kesultanan Yogyakarta.
1. Kesultanan Cirebon
Kesultanan Cirebon mencapai masa keemasan di abad ke-15 dan 16 Masehi serta menjadi jalur penting dalam perdagangan. Letaknya yang berada di pantai utara Jawa, serta pada perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Barat, menjadikan kerajaan ini semacam jembatan antara budaya Jawa dan Sunda. Karenanya, budaya yang berkembang pun menjadi khas Cirebon, tanpa dominasi budaya tetangganya.
Secara historis, pendiri pertama Kesultanan Cirebon adalah Pangeran Cakrabuana atau Walangsunsang yang merupakan putra Raja Siliwangi, Pajajaran. Setelah undur diri, tampuk kerajaan kemudian digantikan oleh keponakannya (putra dari adik Pangeran Cakrabuwana, Putri Rarasantang yang menikah dengan penguasa Mesir, Syarif Abdullah), Syarif Hidayatullah. Syarif Hidayatullah inilah yang kemudian dalam sejarah Wali Songo dikenal sebagai Sunan Gunung Jati. Mulai era Sunan Gunungjari inilah selanjutnya Kesultanan Cirebon berkembang dan melahirkan dinasti raja-raja Cirebon serta Banten.
2. Kesultanan Ternate
Kepulauan Maluku pernah menjadi pusat perdagangan rempah-rempah serta disegani akan kekuatan militernya. Salah satu kerajaan kuat yang ada di sana adalah Kesultanan Ternate dan merupakan salah satu kerajaan Islam tertua di tanah air.
Didirikan oleh Baab Mashur Malamo pada 1257 M, Kesultanan Ternate memainkan peran penting di kawasan timur sejak abad 13 hingga 17 Masehi. Bahkan di abad 16, Kesultanan Ternate mencapai kejayaannya dengan cakupan kekuasaan wilayah Maluku, Sulawesi bagian utara, timur dan tengah, kepulauan Filipina bagian hingga wilayah pasifik tepatnya kepulauan Marshall.
3. Kesultanan Kanoman
Pendiri Kesultanan Kanoman adalah Pangeran Kertawijaya yang bergelar Sultan Anom I pada 1678 M. Kesultanan ini merupakan pecahan dari Kesultanan Cirebon. Meski berdiri sendiri, Kesultanan Kanoman tetap taat memegang adat dan pakem dari Kesultanan Cirebon. Peninggalan yang ada di sana pun masih erat kaitannya dengan penyebaran Islam yang dirintis oleh pendahulunya yakni Sunan Gunung Jati.
4. Kesunanan Surakarta
Usai perjanjian Giyanti 13 Februari 1755, kerajaan Mataram Islam akhirnya dipecah menjadi dua, salah satunya adalah Kasunanan Surakarta. Perjanjian Giyanti sendiri merupakan kontrak politik antara VOC dengan pihak yang bertikai di Kesultanan Mataram, yakni Pangeran Mangkubumi dan Pakubuwana III.
Meski raja-rajanya masih keturunan Mataram, Kasunanan Surakarta secara umum dianggap sebagai kerajaan tersendiri dan dianggap bukan pengganti Mataram. Sebagaimana raja di Kesultanan Yogyakarta yang bergelar sultan, raja di Kasunanan Surakarta bergelar Sunan.
5. Kesultanan Yogayakarta
Kesultanan Yogyakarta lahir berawal dari perjanjian Giyanti yang membagi Kerajaan Mataram Islam menjadi dua, yakni Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Sultan pertama Yogyakarta adalah Pangeran Mangkubumi yang bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono I.
Hamengku Buwono I inilah yang selanjutnya menjadi peletak dasar Kesultanan Yogyakarta. Bahkan, Ia diakui sebagai raja terbesar dari trah Mataram setelah Sultan Agung. Tak heran, faktanya memang saat itu kebesaran Yogyakarta telah melampaui Surakarta. Dari segi angkatan perang pun, Kesultanan Yogyakarta mampu melebihi angkatan perang Belanda di pulau Jawa.
Selain dikenal sebagai raja yang cakap, Hamengku Buwono I juga merupakan raja yang sangat anti dengan penjajah. Tampaknya, Sultan menyadari sepenuhnya bila terpecahnya Mataram tidak lepas dari campur tangan penjajah. Karena itu, Sultan Hamengku Buwono I bersikeras untuk tidak kompromi dengan VOC. Belanda sendiri mengakui bahwa perang melawan Mangkubumi adalah perang terberat di Jawa sejak 1619 hingga 1799 M. Sangatlah pantas kemudian bila Pemerintah Ri kemudian menasbih Sultan Hamengku Buwono I sebagai pahlawan nasional pada 10 November 2006.
Kesultanan Palembang Darussalam ketinggalan bung
Siap, kak. Terima kasih sudah berkunjungan dan turut memberi masukan. Selanjutnya, Kesultanan Palembang Darussalam bisa kami ulas di artikel tersendiri.