Dalam tradisi Islam, biasanya, selain menara, elemen arsitektur masjid yang kerap kali digunakan adalah kubah. Kubah seakan menjadi ciri khas sebuah masjid. Tak hanya di kota-kota besar, bahkan di kampung, masjid yang tak begitu besar atau mushola sekalipun saat ini mulai jamak menggunakan kubah semi bulat yang cukup megah, seakan meniru kubah masjid Sulaimaniye yang ada di Istanbul.
Di beberapa negara mayoritas muslim, dan yang mempunyai akar sejarah perkembangan tradisi seni dan arsitektur Islam yang cukup panjang, seperti Kairo, Isfahan, Samarkand, Damaskus, Cordoba dan Istanbul misalnya, keberadaan kubah malah tak melulu berkaitan dengan masjid.
Kubah dapat dengan mudah ditemukan dalam bangunan sejarah lain, seperti istana raja, maktab, khanqah, wikalah, madrasah, rumah sakit, sabil kuttab, zawiyah, bahkan untuk sebuah makam. Tak sembarang makam tentunya. Kubah menjadi salah satu penanda bahwa makam tersebut merupakan makam tokoh ternama, baik para petinggi negara, wali, ulama, atau para elit yang punya pengaruh luas di zamannya.
Di sisi lain, elemen arsitektur kubah juga erat kaitannya dengan gereja atau katedral. Hal ini tentu saja banyak dijumpai di belahan bumi utara, tepatnya di Eropa. Misalnya saja, Pantheon di Roma, St. Peter di Vatikan, Berliner Dome di Berlin, Sacre Coer di Prancis, St. Mark Basilika di Venesia, Katedral Florensia, Mezquita di Cordoba, dan masih banyak lagi. Bentuk kubahnya juga bermacam-macam sesuai perkembangan, teknik dan material bangunan yang booming saat itu.
Penggunaan kubah, baik di dalam masjid maupun gereja tentu saja tidak sekedar menjadi pemanis belaka. Lebih dari itu, ia mempunyai dimensi spiritualitas yang hampir sama, yang dipahami kedua tradisi tersebut. Bagi keduanya, kubah dianggap sebagai metafora visual akan perjalanan spiritual seseorang kepada Tuhannya. Misalkan saja, lingkaran pada struktur bangunan kubah digambarkan sebagai sesuatu yang kekal, dan abadi. Lingkaran tak berawal dan berakhir, ia wujud dari sesuatu yang sempurna.
Kubah juga kerap diartikan sebagai surga. Persegi atau octagon, sebagai dasar bangunan dimaknai sebagai bumi. Sedangkan bagian yang menghubungkan lingkaran dan persegi diartikan sebagai hubungan antara manusia dengan alam Tuhan. Untuk itu lazim adanya bahwa kubah-kubah tersebut, pada masa awal perkembangannya, di bangun di dalam sebuah sacred space, atau ruang-ruang ibadah.
Perjalanan sejarah kubah bisa dikatakan cukup panjang, melewati berbagai peradaban gemilang dalam sejarah manusia. Persia, menjadi pelopor utama struktur bangunan ini. Dari Persia, ia kemudian bertransformasi dan diadaptasi oleh Greco-Roman, Byzantium, hingga Islam.
Menginspirasi Masjid dan Katedral
Dalam sejarah Islam, arsitek kenamaan Usmani, Mimar Sinan (1488-1588), termasuk yang paling populer dan dianggap brilian dalam mengembangkan seni pembuatan kubah, termasuk teknik dan dekorasinya. Berbagai corak bentuk kubah yang populer sebelumnya, kemudian disempurnakan dan terus mengalami perkembangan hingga mencapai sebuah kematangan. Tak ayal, perkembangan pesat seni kubah di dunia Muslim saat itu telah menginspirasi katedral-katedral besar di Eropa.
Jauh sebelumnya, Katedral Hagia Sophia (537 M), sebagai puncak kebesaran arsitektur Byzantium di Konstantinopel telah banyak menginspirasi Sinan, dan seni arsitektur lainnya di dalam tradisi Islam. Bentuk kubah di Hagia Sophia mengadopsi unsur Persia (Iran, dan Armenia), yaitu berupa kubah melingkar diatas dasar berbentuk persegi.
Tahun 1542 M, oleh Sultan Mehmed II, katedral ini dialihfungsikan menjadi sebuah masjid tanpa sedikitpun menghancurkan struktur bangunan utama. Hanya menutupi beberapa mozaik dan gambar berbentuk manusia dengan lapisan lain, dan menggantinya dengan kaligrafi Kufic bertuliskan Allah, Muhammad dan keempat sahabat nabi. Mengapa?
Karena struktur bangunan gereja dianggap mempunyai makna dan hakekat yang sama, dan sekaligus tidak bertentangan dalam ajaran Islam, maka pengalihfungsian tersebut tidak menimbulkan kerusakan yang signifikan.
Pengalihan fungsi dari gereja ke masjid tidak hanya terjadi di Hagia Sophia. Masjid Qarawiyin, yang terletak di Fes juga dibangun diatas bekas gereja. Begitu juga, The Great Mosque of Damascus, dibangun diatas puing-puing yang sebelumnya merupakan basilica. Dan juga, Mezquita di Cordoba.
Hal yang menarik, tentu saja bagaimana gereja-gereja tersebut sepenuhnya diadopsi menjadi masjid, tanpa merusak dan menghancurkan. Jika saja dianggap tidak sesuai dengan hakekat ajaran Islam, sudah barang tentu bangunan gereja tersebut akan dihancurkan terlebih dahulu.
Abad ke 15 sampai 16 Masehi, Mimar Sinan kemudian membangun maha karya populer yang hingga kini menjadi kebanggaan masyarakat Turki, yaitu masjid Sulaimaniye di Istanbul (1550-1558). Mengadopsi gaya arsitektur gereja Hagia Sophia, termasuk struktur kubah semi lingkaran diatas dasar persegi yang menjadi unsur paling menonjol di masjid ini, nama Sinan kian berkibar.
Arsitektur bercorak Usmani, yang identik dengan menara pensil dan juga kubah-kubah gigantis, kian menjamur seluas wilayah kekuasaannya bahkan sampai ke Hungaria. Puncak kegemilangan seni dan arsitektur di dunia Islam, turut menginspirasi beberapa karya monumental lainnya yang tersebar dari Italia, hingga ke London.